Tuesday, 11 March 2014

Mengungkap Fakta Sejarah Dibalik Serangan Umum 1 Maret 1949



  
Serangan Umum ( SU ) 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Persoalannya, dalam perjalanan sejarah serangan umum 1 maret, sudah terlalu banyak peristiwa dikebiri dan di rekayasa, salah satunya, sejarah SU 1 Maret seolah hanya menokohkan pejuang yang berperan dalam serangan tersebut, mulai dari penggagas yang masih menjadi perdebatan sampai dengan pelaksana serangan yang jelas-jelas menokohkan pejuang yang notabene laki-laki yang satu satunya aktor dibalik SU Maret tersebut. 
Sejarawan DR. Anhar Gonggong berpendapat bahwa penggagas SU 1 Maret bukan Soeharto, menurutnya inisiatif penyerangan seperti itu bukan berasal dari komandan brigade akan tetapi berasal dari pejabat yang lebih tinggi. Hal ini juga dipertanyakan oleh Soedarisman, mantan walikota Jogjakarta ( 1947-1966 ) beliau mempertanyakan gagasan serangan berasal.

Sumber lain menyebutkan gagasan SU Maret 1949 adalah inisiatif Panglima Besar Sudirman, sebab panglima Sudirman pucuk pimpinan militer tertinggi pada saat itu, bahkan Sultan Hamengkubuwono memberikan dukungan terhadap rencana ini.
 
Keterangan lain menyebutkan bahwa penggagas atau inisiator SU Maret 1949 adalah dr. Wiliater Hutagalung yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial yang bertugas membentuk jaringan di wilayah divisi II dan III, pemikiran yang dikembangkan Hutagalung adalah perlu meyakinkan dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada, ada pemerintahan, ada organisasi TNI dan tentaranya. Ia menambahkan perlunya melakukan serangan spektakuler terhadap isolasi Belanda atas ibukota Yogyakarta. 
Sri Sultan HB IX, seperti dikutip buku Momoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno, pernah bertutur: “Sayalah yang semula membicarakan gagasan itu dengan Jenderal Sudirman yaitu minta izinnya untuk mendapatkan kontak langsung dengan Soeharto, ketika itu berpangkat mayor, untuk menjalankan tugas melaksanakan gagasan saya.” Hal itu juga terungkap dalam buku biografi Sultan HB IX, Takhta untuk Rakyat (1982). 
Ironisnya, dalam buku-buku sejarah, data-data sejarah tidak ada jawaban yang pasti mengenai siapa penggagas atau inisiator SU 1 Maret yang monumental tersebut. 
Menariknya, yang menjadi pembahasan sekarang ini hanya melulu mengenai pelaksananaan SU Maret 1949, jelas digambarkan bahwa laki-laki yang menjadi aktor utama dalam serangan itu adalah Letkol. Soeharto. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto seakan melakukan penggiringan bahwa dialah yang menggagas SU 1 Maret 1949, Sepeti film “Janur Kuning” misalnya, melukiskan kepahlawanan soeharto memimpin penyerangan Jogjakarta, kemudian “Majalah Tokoh Indonesia 24 Edisi Khusus 60 Tahun RI” juga menyebutkan bahwa Letkol Soeharto merancang dan melancarkan serangan umum ke sejumlah markas dan pos pertahanan tentara Belanda di dalam kota Yogya, tanggal 1 Maret 1949. Terlepas dari semua itu, SU 1 Maret yang terlanjur tercatat menjadi sejarah masih perlu pengkajian, agar tidak terkesan hanya melanggengkan kepentingan dan penokohan tehadap pelaku yang terlibat dalam peristiwa SU 1 Maret tersebut. 
Ditengah kontroversi sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, satu fakta sejarah yang tidak terbantahkan adalah peran penting Radio Rimba Raya pada saat agresi militer Belanda ke II. Melalui informasi yang disiarkan Radio Rimba Raya yang berada di pedalaman Aceh, tepatnya di Aceh Tengah ( sekarang Bener Meriah ) tentang resolusi dewan keamanan PBB yang ditolak oleh Belanda yang disusul dengan propaganda Belanda bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi, muncul gagasan untuk melakukan counter serta melakukan serangan spektakuler, hal inilah yang melatar belakangi Serangan Umum 1 Maret 1949. 
Setelah melakukan serangan, sekitar 2 hari kemudian informasi keberhasilan kembali disiarkan oleh Radio Rimba Raya seperti di dalam Keterangan Website Sekretariat Negara Republik Indonesia “Radio Rimba Raya milik Republik di Sumatera, sekitar dua hari kemudian, mencatat bahwa serangan terhadap Yogyakarta dan pendudukan kota itu (adalah) prestasi militer yang luar biasa”. 
Fakta sejarah tentang Radio Rimba Raya juga pernah disiarkan di TVRI nasional. Acara Forum Dialog tersebut berlangsung hari Jum’at tanggal 19 Desember 1998 pukul 21:30, pokok pembahasan yaitu sejarah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia ), para peserta dialog malam itu yaitu Umar Said Noor mantan Wakil Kepala Stasiun Radio AURI Bukittinggi, Aboebakar Loebis mantan Diplomat RI, Bapak Halim mantan Wakil Gubernur Militer Sumatera Barat, dan didampingi oleh seorang sejarawan terkemuka Prof. Dr. Taufik Abdullah serta dengan moderator TVRI Bapak Purnama. 
Dalam dialog tersebut terungkap peran pemancar Radio Rimba Raya yang memperlancar tugas pemerintahan PDRI. 
Masih banyak lagi fakta sejarah lain yang mengungkap peran penting Radio Rimba Raya dalam perjuangan kemerdekaan. Anehnya, semua peristiwa ini tidak pernah mencuat dalam sejarah nasional Indonesia. 
Data dan fakta tentang sejarah Radio Rimba Raya yang begitu mudah [di] hilangkan seakan memberikan pembenaran bahwa hanya peristiwa SU 1 Maret 1949 yang menyimpan kontoversi satu satunya bentuk perjuangan nasional yang mengesahkan keberadaan RI, jangan lupa! Radio Rimba Raya berperan menghantarkan Indonesia mendapatkan kedaulatannya melalui Konferensi Meja Bundar ( KMB ).

Akhirnya, lakukan penulisan, penggalian sejarah dengan benar, agar netralitas sejarah dapat dipertahankan. Jangan Lupakan Sejarah.